Prolog
"Dap-dap-dap. Cekrek.."
Seperti malam-malam sebelumnya. Bunyi tersebut cukup familiar di telinga para penghuni asrama, tepatnya lantai 2, lantai dimana kamar Alex berada.
Bunyi tersebut rutin muncul diantara jam 9 dan 1 pagi, dibeberapa waktu bahkan hingga pukul 3 pagi.
Malam itu Alex baru saja pulang. Ia tak pernah kembali seorang diri. Tas selempang yang kusam warnanya itu selalu setia menemani kemanapun Alex melangkah. Isinya? Jangan bayangkan tas tersebut berisi buku-buku materi, fotokopi makalah atau notebook. Ia lebih memilih menggotong tasnya untuk barang yang agak ‘lain’ dari kebanyakan barang bawaan mahasiswa.
Sebuah kamera, beberapa lembar surat izin peliputan, alat perekam sederhana, permen karet rasa peppermint, cadangan memory card dan seperangkat Charger. Ia tak pernah lupa harus membawa alat pengisi daya untuk kameranya. Namun anehnya tak pernah terbersit dikepalanya untuk turut membawa pengisi daya untuk handphone.
Memang ketika sedang dalam aktifitas, Alex berusaha untuk tidak terdistraksi dengan ponselnya. Akibat tidak fokus oleh ponsel, ia kehilangan seorang narasumber penting bagi kelanjutan laporan investigasi miliknya di tahun lampau. Berkat itu, ia gagal merampungkan proyeknya dan masih merasa gagal hingga kini.
Alex bagaikan hantu. Ia bisa datang dan pergi begitu saja. Sebuah panggilan bahkan dapat menculiknya dari suatu tempat kemudian menghilang tiba-tiba. Tak seorangpun mengerti akan rumitnya hidup yang ia jalani. Bahkan kadang ia sendiripun tak mengerti. Ia hanya bekerja, dan menulis untuk keabadiannya.
Bagi Alex, kehidupan merupakan sebuah jalan tak berujung. Ia tak sudi mendapat batasan apapun. Ia merasa bisa pergi kemanapun ia menginginkan dirinya berada. Ia berteman dengan siapapun. Kebanyakan hanya 10 menit, setelah pertanyaan usai, rekamannya mati, ia sudah tak mengobrol akrab dengan sahabat barunya tersebut.
Tak pernah terlintas di fikiran liarnya akan diam berada di suatu tempat untuk menetap. Baginya kehidupan itu sangat dinamis, bergerak, atau hilang di telan sunyi. Ia tak peduli akan pandangan orang lain, baik itu akan sejalan atau merintang dari prinsipnya. Baginya hidup independen adalah hak setiap manusia, dan sebagai manusia merdeka, ia harus mendapatkannya.
Malam itu sungguh larut, jam menunjukkan pukul 02.45.
Seketika saat membuka pintu, ia temukan beberapa lembaran kertas yang diselipkan dibawah pintunya. Seperti biasa:
-Undangan rapat redaksi
-Undangan rapat penghuni asrama
-Surat keterlambatan pembayaran koran
-Surat tagihan Sewa kamar miliknya
Namun ia begitu lelah untuk memikirkan itu semua. ia terlarut akan aktifitas dambaannya sebagai reporter. Sehingga melupakan beberapa kegiatan yang harus ia hadiri, beberapa pesan yang ia harus balas, dan hal-hal manusiawi lainnya.
Perasaan remuk di sekujur badan baru menyeruak ketika ia merebahkan punggungnya. Segera ia memindahkan file hasil buruannya seharian, untuk kemudian diolah, menjadi tulisan.
Tulisan membebaskan Alex dari teriakan-teriakan di kepalanya. setiap selesai, ia merasa damai. Menulis mengenai orang lain membuatnya melupakan hidupnya sendiri, hidup yang sebenarnya tak ia inginkan.
Sudah lama ia tak melihat kedua orang tuanya, sudah lama pula ia kehilangan kasih cinta tangan-tangan yang dulu mendekapnya. Ingatan terakhir yang masih jernih dikepala, yakni ketika Neneknya memeluk dengan erat, seraya berkata. Doakan ibu dan ayahmu nak. Mereka akan selalu melindungimu dari sana.
Alex mustahil faham, apalagi memberi solusi, ia hanya seorang balita yang tak mengerti apa-apa.
Tumbuh dengan didikan keras neneknya. Menjadi bekalnya untuk tetap mandiri. Tanpa pernah berhenti untuk kembali mengingat orang tuanya.
Diumur kedua belas. Ia begitu antusias, 4 hari lagi berlangsung ujian akhir sekolahnya. Neneknya bangga Alex tumbuh menjadi bocah yang memiliki prestasi diatas rata-rata. Predikat juara tak pernah absen diterimanya.
Hari itu ia tidak belajar. Tak seperti malam sebelumnya, ia diminta untuk menemani neneknya, ia hanya diperdengarkan cerita mengenai kisah-kisah kuno, Kehidupan neneknya dimasa kolonialisme, dan sesuatu yang tidak Alex temukan pada buku dongeng di perpus sekolahnya. Kenangan itu melekat hingga kini,
disaat bahagia bersama nenek, mereka berdua tertawa bersama, dan tertidur diatas kursi jungkit tua dari rotan. Alex bangun keesokan harinya, sang nenek tidak.
12 tahun, menjadi titik awal baginya untuk melanjutkan hidup tanpa keluarga yang ia sayangi.
….
Seorang janda berumur, 30an tahun, amat bersedih. Matanya sembab, bibirnya bergetar, nafas sesenggukan. Ia ditinggal seorang ibu yang ia cintai.
Ia adalah anak angkat dari sang Nenek. Datang kembali jauh dari rumahnya di sumatera. Untuk mengantarkan sang ibu menuju tempat peristirahatan.
Dari jauh Alex melihatnya, ia menerka wanita paruh baya itu memiliki hubungan dekat dengan neneknya. Sebagai anak kecil, Ia dianugerahi untuk melihat air mata yang jatuh dengan tulus.
Alex lalu mendekat, tanpa sadar lengan kecilnya melingkar di betis wanita itu. Alex hanyalah anak kecil yang nakal, dan merindukan kasih sayang. Ia berharap perilakunya tersebut dapat dimaklumi.
Mereka berdua menangis, memeluk satu sama lain. Meredam sakit, perasaan yang tercabik-cabik.
….
Alex terpecah dari lamunannya. kembali melanjutkan menulis berita. Entah kenapa ia tiba-tiba terdiam dan mengingat saat pertama kali ia menemui ibu tirinya. Ia segera meraih telefon genggam miliknya yg sudah terisi daya, dan menelepon ibunya itu.
Tuuuut
Tuuuuut
Tuuuuut
Tut tut tut…
Sambungan terputus, pertanda ibu tirinya itu sudah tidur. “Ah sudahlah, Mungkin besok ia akan menelepon balik,” fikiran Alex.
Seperti kenangan-kenangan yang berlalu. Alex merasa berat harus berpisah dengan orang-orang yang disayanginya. Fikiran tersebut kerap menghantui apalagi jika ia sedang tidak menyibukkan diri. Menjauh dari kekosongan menjadi pilihannya untuk melupakan masa lalu.
Di waktu-waktu panggilan shalat tiba, Alex sebisa mungkin datang tepat waktu. Shalat berjamaah membuatnya lebih tenang, atau setidaknya, membuat ia tidak merasa sendiri. Bagian favoritnya adalah di akhir, dikala berdoa.
Ia merasa bahwa doa menjadi media baginya untuk mendapat hubungan paling intim dengan orang tuanya. Dengan tenang ia mengucap fatihah, tak jarang pula ia berlaku seperti anak kecil, yakni mengeluh pada orang tuanya, di dalam doa.
Bahkan hingga kini. Keresahan, amarah, rasa rindu kerap disampaikannya kadang dengan sedikit terisak. Ia merasa marah, dan pilu. Namun Tuhan, masih menguatkan pundaknya hingga kini.
Alex meraih telepon genggam miliknya. Ia melihat jadwal kegiatannya esok hari, sembari mempersiapkan barang-barang bawaan. Segala sesuatu yang tak ia cantumkan kerap luput, dan akhirnya ia sesali. Seperti itu, dan berulang-ulang
Tak lupa ia pun melihat daftar pesan masuk yang diterimanya. Beberapa pertanyaan yang masuk terkait produksi yang ia pimpin, ia jawab satu-persatu. Dan beberapa kegiatan redaksi dan pelatihan kepenulisan yang kadang meminta ia untuk berbicara,
Namun Alex sudah terlanjur tak berdaya. Apa yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kemauan semua orang. Ia merasa terlalu memforsir dirinya untuk terlihat sibuk, hingga tak mampu memenuhi seluruh tanggung jawabnya.
Kakinya lemas, tetesan darah mengalir di hidungnya, memaksa ia untuk tergeletak tak berdaya pada malam itu. meninggalkan seluruh pesan yang akan ia balas satu persatu.
…
Komentar
Posting Komentar