Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2018

kamu tetaplah menjadi kamu

Akulah api yang membakar kulitmu Akulah air yang membunuh dahagamu Akulah kastil, menara-menara kokoh  pedang yang menjaga harta karun itu  Anda, udara yang saya hirup dan cahaya rembulan di laut tenggorokan ini, begitu ingin terbasahi namun saya, tetap takut ditenggelamkan cinta lalu kepadaku, gairah apa yang akan kamu berikan kamu berkata, hartaku cukup untuk dilihat milikmu akan menjadi milikmu,  dan milikmu itu akan tetap menjadi milikmu

Biru

Ku saksikan langit, begitu biru pagi ini kawanan cahaya jalanan, satu persatu padam menyambut hari fajar yang cerah, terang merekah, memberi suatu pertanda benarkah pagi ini, ada sesuatu yang kan berbeda? ku telusuri jejak-jejak yang kemarin kutinggalkan dibalik terpaan silau cahaya, ku bersembunyi, merendah hati dari segala perasaan marah, perasaan gundah, ku menahan diri apakah kali ini, semesta akan mendukungku, setelah sekian lama membenci? wahai langit biru, berikanlah harapan, untuk hidup yang terlalu muram senantiasa ku tunggu, segala balasan, dari semangatku yang tak padam hadirkan padaku, semua jawaban dari pertanyaan yang sejak lama didiamkan Haru birukan hariku, agar tetap tegar, menjalankan kehidupan.

Angkringanku

Angkringanku Adalah tempat lamunku Kepul asap dibawah atap Ruang murah meredam marah Kopi hangat mengenalkan nikmat Tempat pulang, dari nalar yang hilang angkringanku.. bukan berarti milikku sesungguhnya angkringan milik yang maha Pencipta melalui bu sum, angkringan dititipkan, untuk makan, dan selonjoran gorengan tempe, 500 satunya, sate ayam, 1000 rupiah tiap tusuknya angkringanku, tempat merdeka, makan di masa seadanya angkringanku, jangan sesekali berani menipu bu sum memang tak melihat, tetapi malaikat, senantiasa mencatat nasi kucing itu, tak seberapa, jangan sampai karenanya, engkau batal masuk surga tetapi bila tuan tak berharta, sungguh tak apa, silahkan bayar, ketika kiriman sudah ada Yogyakarta, 14 Juli, didalam semilir lembut angin sore

Kembang api

Warna-warna saling berpadu, menuju dirgantara Ah, jelita, bukankah mereka indah bagimu Dipersiapkan  dengan tenaga, kemudian menjadi jelaga Menerangi, menerbangkan lamunanmu menuju timbuktu Apakah kita terlalu biasa, untuk menjadi sempurna Ataukah engkau terlalu fana, untuk menjadi nyata? Sungguh, Aku tidak mengerti, pada titik apa, kita akan bersua. Duhai kembang api menyala-nyala, Untuk apa mengobarkan ragamu. Bila cahaya rembulan, bintang-bintang, bersinar gemilang tanpa malu Akankah kami, harus tetap disini, Bercumbu, berbasa-basi Yakin kan kami, untuk menahan diri, membunuh waktu, dengan candaan analogi? Mohon, kembang api, Berikan kami kesempatan, untuk membenahi Segala nafsu birahi, yang kian menyalahi, Biarkan cahayamu, menjadi merefleksi, Mengapa afeksi, tak pernah cukup bagi kami Apakah kita terlalu biasa, untuk menjadi sempurna Ataukah engkau terlalu fana, untuk menjadi nyata?