Kala itu Senja, ia kembali datang menyapa di garis cakrawala.
Lamunanku terpecah, benakku sibuk
merangkum diksi, mulutku bergunjing,
Dihadapan dinding.
Anganku kosong, imaji-ku sepi,
mengingatmu, dan ketiadaanmu saat ini
Sesekali kudekap pundakku sendiri
Terasa Hilangnya purnama kehangatan
Yang menawarkan rumah, disaat keadaan menambah amarah.
Di dinding ini aku luapkan segalanya
Ketika pagi membuka hari
Ketika malam menyambung resah
Segala tawa pilu, air mata sedu,
Memenjarakan keinginan, dari tempat yg seharusnya ia dapatkan.
Tapi apa yang dinding mau
Hanya mendengar cerita-cerita, yang tak pernah sekalipun kabar suka cita.
Kuingin ada disamping orang-orang itu
Pekikan menggetirkan, namun kurindui
Lembutnya jari-jari yang menggerayangi kakiku, sudah lama tak saling menemui
Dalam sumpah serapah yg kuucap pada dinding ini, tak pernah lupa ku teriakkan pada sang pencipta.
Jaga nyawa itu untukku!
Sekali lagi,aku hadapkan diriku padamu, wahai Dinding
Tangguhku sama hebatnya oleh perkasamu
Egoku sekeras baja-baja jeruji,
yang kau gunakan untuk mengekang raga ini
Aku selalu,
dan akan terus disini,
berbicara denganmu,
memaki olehmu,
dingin diterpa bayanganmu
Disini
Dan terus disini
Dalam doa,
Agar anak-anakku, cintaku, tetap teguh dalam janji,
Menunggu ayahnya, yang hingga kini terbelenggu jeruji.
Komentar
Posting Komentar